Sabtu, 16 Juli 2011

Serial A Primer of Freudian Psychology_Bab 3 The Dynamics of Personality

Di bab pertama kita membahas organisasi personalitas dan memerikan beberapa proses-proses dan fungsi-fungsi menonjol dari tiga bagiannya, id, ego, dan superego. Dalam bab ini tujuan kami adalah memperlihatkan bagaimana ketiga sistem ini beroperasi dan bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain dan dengan lingkungan.

I. Energi psikis

Organisme manusia adalah sistem energi yang rumit, mengasalkan energinya dari makanan yang dimakan dan menghabiskannya untuk tujuan-tujuan seperti sirkulasi, respirasi, pencernaan, konduksi sarafiah, aktivitas otot, persepsi, mengingat, dan berpikir. Tak ada alasan untuk percaya bahwa energi yang membuat organisme bergerak pada dasarnya berbeda dari energi yang menjalankan alam semesta. Energi mengambil beberapa bentuk—mekanik, termal, elektrik, dan kimiawi—dan bisa diubah bentuk dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Bentuk energi yang mengoperasikan tiga sistem personalitas disebut energi psikis. Tak ada yang mistikal, vitalistik, atau supernatural perihal konsep energi psikis ini. Ia menjalankan kegiatan atau sanggup menjalankan kegiatan seperti yang dilakukan bentuk energi lainnya. Energi psikis menjalankan kerja-kerja psikologis—seperti misalnya, berpikir, mempersepsi, dan mengingat—sama halnya dengan energi mekanik menjalankan kerja-kerja mekanis.
Orang bisa mebicarakan transformasi energi ragawi menjadi energi psikis sebagai mana pula transformasi energi psikis menjadi energi ragawi. Transformasi-transformasi ini berlangsung berkelanjutan. Kita berpikir (energi psikis) dan kemudian bertindak (energi perototan), atau kita dirangsang oleh sepolaan gelombang-gelombang suara (energi mekanis) dan kita mendengar (energi psikis) seseorang berbicara. Hanya bagaimana semua transformasi ini berlangsung, tidaklah diketahui.

II. Insting

Segenap energi yang digunakan untuk menjalankan kerja dari personalitas didapatkan dari insting. Insting didefinisikan sebagai suatu kondisi bawaan lahir yang menggariskan arah pada proses-proses psikologis. Insting seks, misalnya, mengarahkan proses-proses psikologis seperti mempersepsi, mengingat, dan berpikir pada tujuan konsumasi seksual. Insting seperti sungai yang mengalir sepanjang cekungan tanah yang berkelok.
Insting memiliki sumber, tujuan, objek, dan impetus [pendorong]. Sumber-sumber utama energi instingtual adalah kebutuhan-kebutuhan atau impuls-impuls ragawi. Suatu kebutuhan atau impuls merupakan suatu proses ekscitatoris* dalam jaringan atau organ tubuh yang melepaskan energi yang disimpan dalam tubuh. Sebagai contoh, kondisi fisis dari rasa lapar membangkitkan insting lapar dengan memberikannya energi. Energi instingtual ini kemudian menanamkan arah-tujuan pada proses psikologis yang berupa persepsi, memori dan pikiran. Orang mencari makanan, berusaha mengingat dimana makanan pernah ditemukan pada kejadian sebelumnya, atau merancangkan tahapan tindakan yang melaluinya makanan bisa diperoleh.
Tujuan akhir dari insting adalah dihilangkannya kebutuhan ragawi. Tujuan dari insting lapar, misalnya, adalah untuk menghilangkan kondisi fisis rasa lapar. Ketika hal ini telah dilakukan, tak ada lagi energi ragawi yang dilepaskan, insting lapar hilang, dan individu kembali mencapai keadaan kedamaian [quiescence] psikologis dan fisiologis. Dinyatakan dengan cara lain, tujuan insting adalah untuk mengeliminir sumber-sumber insting tersebut.
Disamping tujuan akhir dari quiescence, Freud mengamati bahwa terdapat pula tujuan-tujuan turunan yang harus dipenuhi sebelum tujuan akhir/utama bisa dicapai. Sebelum rasa lapar bisa diredakan perlulah untuk menemukan makanan dan memasukkannya ke dalam mulut. Menemukan dan mencerna makanan adalah hal-hal turunan dalam mengeliminir rasa lapar. Freud menyebut tujuan akhir dari insting sebagai tujuan internal, dan tujuan-tujuan turunan insting sebagai tujuan eksternal.
Insting dikatakan bersifat konservatif karena tujuannya adalah mengembalikan seseorang pada keadaan yang quiescent yang sudah ada sebelum gangguan yang ditimbulkan proses ekcitatoris. The course of an instinct selalulah dari keadaan penuh ketegangan ke keadaan relaxation. Dalam beberapa contoh, terutama dalam pemuasan impuls-impuls seks, terdapat ketegangan yang menggunung sebelum terjadinya pelepasan terakhir. Hal ini tidaklah membantah prinsip umum dari fungsi yang dijalankan insting, karena tujuan terakhir dari dorongan seks adalah relief from excitation no matter how much tension may be generated prior to the final discharge. In fact, orang belajar memupuk banyak ketegangan karena pelepasannya yang tiba-tiba mendatangkan rasa nikmat yang tinggi.
Dengan kata lain, insting selalu berusaha melakukan regresi pada kondisi sebelumnya. Tendensi insting untuk mengulang-ulang siklus dari excitation ke kondisi repose ini disebut repetition compulsion. Terdapat banyak contoh repetition compulsion ini dalam kehidupan sehari-hari. Fase regular dan periodik dari kegiatan terjaga yang diikuti dengan tidur adalah salah satunya. Tiga kali makan sehari adalah contoh yang lain. Hasrat seksual diikuti dengan pemuasan seksual juga contoh yang lainnya.
Singkatnya, then, tujuan insting diberi ciri dengan sifat konservatif, regresif, dan repetitif.
Objek suatu insting adalah objek atau cara yang melaluinya tujuan yang disasar insting dicapai. Objek dari insting lapar adalah mencerna makanan; objek dari insting seks, copulation; dan insting agresif, bertarung. Objek atau cara-cara tersebut merupakan ciri yang paling bervariasi dari sebuah insting, semenjak banyak objek dan aktivitas yang berbeda bisa saling menggantikan. Seperti yang akan kita lihat di Bab 4 tentang perkembangan personalitas, the elaboration of the means by which instincts reach their goal of tension-reduction constitutes one of the principal avenues of personality development.
Impetus dari sebuah insting adalah kekuatan atau dayanya, yang ditentukan oleh jumlah energi yang ia miliki. Rasa lapar yang kuat menghasilkan impulsi yang lebih besar terhadap proses-proses psikologis daripada yang dilakukan oleh rasa lapar yang ringan. Ketika orang amat lapar, pikirannya dipenuhi oleh makanan sampai-sampai mengabaikan segala hal praktis lainnya. Serupa itu pula, jika orang mengalami jatuh cinta yang akut, sukarlah baginya untuk memikirkan hal lain.
Tempat insting ada dalam id. Semenjak insting constitute the total amount of psychic energy, id dikatakan sebagai sumur orisinil dari energi psikis. Untuk membentuk ego dan superego, energi diambil dari sumur ini. Bagaimana penarikan energi ini berlangsung adalah subjek dari bagian berikut.

III. Distribusi dan pembuangan Energi Psikis

A. ID. 

Energi dari id digunakan untuk pemuasan instingtual melalui aksi-aksi refleks dan wish-fulfillment. Dalam aksi refleks seperti yang dicontohkan melalui mencerna makanan, pengosongan kantung makanan, dan orgasme seksual, energi secara otomatis dilepaskan dalam aksi motoris. Dalam wish-fulfillment, energi dipakai untuk menghasilkan citra dari objek instingtual. Tujuan dari kedua proses tersebut adalah untuk menghabiskan [membelanjakan] energi instingtual ke dalam cara-cara yang akan menghilangkan kebutuhan tersebut dan mendatangkan repose bagi individu.
The investment of energy dalam citra suatu objek, atau dihabiskannya energi dalam aksi-aksi pelepasan terhadap suatu objek yang akan memuaskan insting, disebut object-choice atau object-cathexis. Segenap energi dari id dihabiskan dalam cathex-cathex-objek*.
Energi yang disuntikkan id dalam object-choices amatlah cair. Ini berarti bahwa energi tersebut bisa dibelokkan [dilangsir] dengan mudah dari satu objek ke objek yang lain. Pembelokkan energi ini disebut displacement. Demikianlah, jika makanan tidak ada, bayi yang lapar akan menggantinya dengan apapun yang terpegang atau tangannya sendiri dan memasukkannya ke mulut. Objek-objek dipandang ekuivalen ketika terdapat keserupaan yang kongkrit dan spesifik di antara mereka. Dua objek seperti misalnya botol susu dan blok kayu mainan dipersepsi sebagai identik karena keduanya itu bisa dipegang tangan dan dimasukkan ke mulut. Energi dari id amat bisa diganti-gantikan karena id tidak memiliki kemampuan dalam membuat pembedaan diantara objek-objek.
Tendensi id untuk memperlakukan objek seolah-olah mereka itu adalah benda yang sama, terlepas dari perbedaan yang ada diantara mereka, menciptakan semacam pemikiran terdistorsi yang disebut predicate thinking. Jika dua objek, misalnya sebatang pohon dengan organ seks pria, dipersamakan dalam benak seseorang karena keduanya sama-sama memiliki karakteristik fisik yang sama yaitu protruding, orang tersebut sedang melakukan predicate thinking. Jenis berpikir ini lazim terutama dalam mimpi, dan dapat menjelaskan simbolisme yang terjadi dalam mimpi. Mengendarai kuda atau membajak ladang bisa mewakili atau menyimbolkan persetubuhan karena gerak-gerak yang similar dilakukan dalam berkendara, membajak, dan bersetubuh. Predicate thinking umum pula terjadi dalam kehidupan terjaga, menyebabkan amat banyak kebingungan dalam pemikiran seseorang sehingga menghindarkannya dalam membuat diskriminasi yang memadai. Prasangka rasial seringkali dikarenakan predicate thinking ini. Karena kaum negro berkulit hitam dan karena hitam berasosiasi dengan kejahatan dan kotor, kaum negro dipandang sebagai buruk dan kotor. Serupa itu pula, orang yang berambut merah dipandang memiliki temperamen panas karena merah adalah warna yang panas.
Jika aliran direksional dari energi instingtual dibendung oleh proses-proses ego atau superego, ia berusaha menghancurkan pembendungan tersebut dan meloloskan dirinya dalam fantasi atau tindakan. Ketika pembobolan itu berhasil, proses-proses rasional ego digerogoti. Orang akan melakukan kesalahan-kesalahan dalam bicara, menulis, mempersepsi, dan dalam mengingat, dan dia mengalami kecelakaan karena dia menjadi begitu bingung** dan kehilangan kontak dengan realitas. Kemampuannya untuk memecahkan masalah dan menyingkapkan realitas dibuat lemah oleh the intrusion of impulsive wishes. Tiap orang pasti tahu bagaimana sulitnya memfokuskan pikiran pada pekerjaan sewaktu dia lapar atau terangsang secara seksual atau sedang marah. Jika id tidak berhasil dalam menemukan saluran-keluar yang langsung bagi energi isntingtualnya, energi tersebut diambil alih oleh ego atau superego dan digunakan untuk memberi tenaga bagi operasi-operasi dari sistem-sistem ini. 

B. EGO. 

Ego pada dirinya sendiri tidaklah memiliki energi. Indeed ia tidak bisa dikatakan ada sampai energi dibelokkan dari id pada proses-proses laten yang membangun ego. Dengan pemberian tenaga atas proses-proses baru ini—seperti misalnya diskriminasi, memori, penilaian, penalaran—yang sampai pada titik ini berupa kecenderungan-kecenderungan laten dan innate dalam personalitas, ego sebagai suatu sistem yang terpisah memulai perkembangannya yang kompleks dan panjang.
Titik berangkat bagi diaktifkannya potensialitas-potensialitas ego laten ini terkandung dalam mekanisme yang dikenal sebagai identifikasi. Untuk memahami sifat dari mekanisme ini perlulah untuk kembali kepada hal-hal pokok yang telah kita bahas. Ingatlah bahwa id tidak membuat distingsi antara pencitraan subjektif dengan realitas objektif. Jika ia meng-cathex suatu citra objek*, artinya, ketika energi disuntikkan dalam suatu proses yang membentuk representasi mental dari suatu objek, hal ini sama dengan meng-cathex objek itu sendiri. Bagi id, objek sebagai citra dan objek sebagai realitas eksternal adalah identik dan bukan merupakan entitas yang terpisah.
Kegagalan id dalam mencapai kelegaan dari ketegangan membuat timbulnya garis perkembangan baru yang memberikan dasar bagi pembentukan ego. Alih-alih suatu citra dan objek riil dipandang sebagai identik, terjadi suatu pemisahan antara keduanya. Apa yang terjadi akibat pembedaan ini adalah bahwa hal yang sepenuhnya subjektif, dunia batiniah dari id menjadi dipilah ke dalam dunia batiniah yang subjektif (pikiran) dan dunia eksternal yang objektif (lingkungan). Jika dia ingin menselaraskan diri dengan memadai, orang itu sekarang dihadapkan dengan tugas mengharmonikan kedua dunia ini satu sama lain. Keadaan-keadaan mental harus disinkronisasi dengan realitas jika orang ingin selaras secara memadai.
Sebagai contoh, jika seorang yang lapar memiliki citra memori akan makanan, dia harus melokalisir objek riil tersebut dalam lingkungan yang sesuai dengan citra-memorinya. Jika citra memori tersebut adalah citra yang akurat, objek yang akan dia temukan akanlah berupa makanan. Jika citra memorinya bukan merupakan representasi akurat dari makanan, citra itu haruslah direvisi sampai ia berupa citra makanan. Jika tidak, orang yang lapar akan mati kelaparan. Pada suatu masa bumi dipercaya sebagai datar, tapi konsepsi ini direvisi ketika Columbus dan para penjelajah lain memperlihatkan bahwa dunia bulat dan tidak datar sama sekali. Segenap kemajuan dalam pengetahuan adalah membuat representasi mental orang atas dunia menjadi gambaran yang lebih akurat atas dunia sebagaimana adanya.
Kerja-kerja membuat isi pikiran menjadi replika-replika yang faithful dan akurat atas isi dunia dilakukan oleh proses sekunder. Jika gagasan atas suatu objek selaras dengan objek itu sendiri, gagasan itu dikatakan beridentifikasi dengan objeknya. Identifikasi pikiran dengan realitas haruslah dekat dan eksak agar perancangan rencana tindakan akan membawa orang pada tujuannya.
Sebagai akibat dari mekanisme identifikasi ini, energi yang disuntikkan oleh id dalam citra-citra without regarding for, and indeed with no conception of, reality is diverted into the formation of accurate mental representations of the real world. Pada titik ini, pemikiran logis menggantikan wish-fulfillment. Pengalihan energi dari id ke proses-proses kognitif ini menandai langkah awal dalam pengembangan ego.
Adalah penting untuk mengingat bahwa adaptasi baru dari personalitas ini is contingent upon the separation of subject (mind) and object (matter). Bagi id tak ada pemilahan semacam itu. Sebagai akibatnya, tak dimungkinkan adanya identifikasi. Identitas citra dengan objek dalam id mungkin dipandang sebagai semacam identifikasi primitif. Akan tetapi adalah lebih baik menggunakan term identitas untuk kondisi ini dan memakai term identifikasi bagi kasus-kasus dimana terdapat a clear recognition of a separation of the two thngs that are being identified, namely, mental events and external reality.
Pemisahan antara pikiran dengan dunia fisik realitas berlangsung sebagai hasil dari frustrasi dan proses belajar. Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, id tidak dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan vital kehidupan melulu lewat aksi refleks atau wish-fulfillment. Sebagai akibatnya, orang haruslah mengetahui perbedaan antara citra dengan realitas jika dia ingin tetap hidup. Tak ragu lagi, there is an inborn predisposition untuk membedakan antara keadaan-keadaan mental batiniah dengan realitas luar, tapi predisposition ini haruslah dikembangkan melalui pengalaman dan latihan. Sedari usia yang amat awal, bayi belajar membedakan antara apa yang ada diluar dirinya di dunia sana dan apa yang ada dalam pikirannya. Lebih lagi, melalui pengalaman dan pendidikan, dia belajar membuat apa yang ada dipikirannya sejalan dengan apa yang pada kenyataannya ada di luar pikirannya. Dia belajar, dengan kata lain, untuk mengidentifikasi keduanya.
Satu contoh dari perbedaan antara identitas dengan identifikasi barangkali akan menjernihkan arti dari kedua term tersebut. Ketika orang bermimpi sedang dikejar seekor singa, dia biasanya merasa seolah-olah seekor singa yang nyata sedang mengejarnya. Selama mimpi itu, citra-citra tersebut tidaklah dibedakan dari objek-objek real yang mereka representasikan. Semua itu adalah identitas-identitas. Sebagai akibatnya, orang yang bermimpi itu mengalami emosi yang sama yang akan ia rasakan jika peristiwa-peristiwa dalam mimpi tersebut nyata-nyata terjadi. Serupa itu pula, orang yang memiliki halusinasi tidaklah membedakannya dari realitas. Di lain pihak, jika orang dalam kehidupannya yang terjaga sedang menonton televisi atau membaca buku, dia tidak memandang bahwa gambar-gambar atau kata-kata merupakan objek-objek aktual pada dirinya sendiri. Dia menyadari bahwa semua itu hanyalah representasi-representasi realitas. Dia mungkin mengidentifikasi peristiwa-peristiwa dalam acara televisi atau dalam buku dengan realitas, tapi jarang sekali dia terkecoh untuk memandang bahwa semua itu adalah realitas itu sendiri.
Melalui identifikasi dengan objek-objek dari dunia eksternal, representasi-representasi subjektif dari objek-objek ini mendapat kateks-kateks* yang sebelumnya disuntikan oleh id dalam objek-objek itu sendiri. Kateks-kateks baru ini disebut ego-cathexes untuk membedakannya dari pilihan-objek id yang instingtual**. Melalui identifikasi, lalu, energi menjadi tersedia bagi perkembangan pemikiran realistik (proses sekunder), yang menggantikan wish-fulfillment yang halusinatoris (proses primer). Redistribusi energi dari id ke ego ini merupakan peristiwa dinamis utama dalam perkembangan personalitas.
Karena fungsi-fungsi rasional dari ego begitu berhasil dalam memperoleh gratifikasi bagi insting-insting tersebut, semakin banyak energi dari sumurnya dalam id dialirkan*** ke dalam ego. Sewaktu ego bersinar dalam kekuatannya, id justru semakin buram. Akan tetapi, jika ego gagal dalam tugasnya memuaskan tuntutan-tuntutan id, ego-cathexes diubah kembali ke dalam object-cathexes yang instingtual dan wish-fulfillment masa kanak berdaulat kembali. Inilah apa yang terjadi sewaktu kita tidur. Karena ego tidak bisa berfungsi secara efektif sewaktu mimpi, proses primer dimunculkan dan membuat citra-citra halusinatoris. Bahkan sewaktu hidup terjaga, proses primer bisa saja diaktifkan kembali ketika ego tidak melahirkan hasil-hasil secara langsung. Ini dikenal sebagai autistic atau wishful thinking.
Orang yang amat menginginkan sesuatu to be true seringkali menipu diri dengan memikirkannya sebagai true. Kita semua tahu seberapa mudah untuk membiarkan bias-bias dan hasrat-hasrat kita mengarahkan pemikiran kita. Bahkan ilmuwan yang objektif sekalipun harus hati-hati untuk tidak membiarkan pilihan-pilihan teoritisnya mempengaruhi observasi dan penalaran. Itulah kenapa dia selalu hati-hati dengan menyediakan kontrol-kontrol yang cocok bagi eksperimen dan observasinya, dan untuk mengulang berkali-kali prosedur tersebut untuk memastikan apa yang dia lihat pertama kali benar-benar true. Wishful thinking tiada habisnya membuat jebakan untuk kita.
Dibawah kondisi normal ego memonopoli simpanan energi psikis. Ketika ia mengambil energi secukupnya dari id, ia bisa menggunakan energi ini untuk tujuan-tujuan yang lain daripada memuaskan insting-insting. Energi digunakan untuk mengembangkan proses-proses psikologis seperti mempersepsi, attending, belajar, dan berimajinasi. Semua proses-proses ini akan menjadi semakin efisien ketika ego mendapatkan kontrol atas energi tersebut. Dunia mendapat makna-makna baru bagi orang sewaktu dia semakin tahu tentangnya, dan dengan pengetahuannya yang bertambah ini dia berada dalam posisi yang lebih baik untuk memanipulasi dunia menurut tujuan-tujuan yang dipunyainya. Tidak hanya dalam perkembangan dari si individu tapi juga evolusi rasial dan kultural manusia selalu terdapat control yang semakin besar atas alam melalui pengalihan energi dari proses-proses nonrasional id pada proses rasional ego.
Beberapa energi dari ego harus digunakan untuk membendung dan menangguhkan the outflow of exitation through the motor system. Tujuan dari penangguhan ini adalah untuk memberi kesempatan bagi ego untuk menjalankan rencana tindakan yang realistis sebelum ia bertindak. Ketika energi digunakan untuk membendung aliran energi yang sedang berupaya melakukan pelepasan terakhirnya, daya-daya pembendung ini disebut anti-cathexes. Suatu anti-cathexis adalah muatan energi* yang melawan cathexis. Anti-cathexes dari ego ini diarahkan untuk melawan id-cathexes karena cathexes ini mendesak pelepasan beban karena adanya ketegangan. Wilayah perbatasan antara ego dengan id barangkali mirip dengan wilayah perbatasan dari dua negara, yang masing-masing berupaya menginvasi wilayah yang lain. Negara yang terancam infasi mendirikan pertahanan (anti-cathexes dari ego) yang bisa memukul mundur si penyerang (id-cathexes). Jika anti-cathexes menemui kegagalan, object-cathexes dari id akan memberangus ego dan menghasilkan perilaku impulsif. Inilah yang terjadi ketika orang yang biasanya terkontrol kehilangan kendali.
Energi yang ada dalam ego bisa juga digunakan untuk membuat object-cathexes yang baru. Objek-objek ini tidaklah secara langsung memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki organisme, meski mereka dikaitkan oleh mata rantai-mata rantai asosiatif with objects that do. Sebagai contoh, insting lapar bisa bercabang-cabang dan meliputi banyak aktivitas yang pada dasarnya tidak memuaskan rasa lapar. Mengumpulkan resep-resep yang tak biasa dan buku-buku masak, membeli perabotan Cina dan perabotan perak, memasang peralatan dapur elektronis, mengunjungi restoran yang menyediakan makanan-makanan eksotik, membaca dan berbincang tentang makanan dan bermacam hal lain seputar makanan and food-associated interests engage the energies of many people, meski tak satupun dari semua ini pada dirinya sendiri mereduksi rasa lapar.
Alasan ego memiliki cukup energi yang bisa dihabiskan untuk tujuan-tujuan non-instingtual adalah bahwa pemungsiannya yang efektif menghasilkan suatu surplus energi yang dibutuhkan untuk kebutuhan-kebutuhan hidup yang vital. Semakin ekonomis ego beroperasi dalam memuaskan kebutuhan-kebutuhan ragawi, semakin banyak energi yang dimilikinya untuk kegiatan-kegiatan waktu senggang. The way in which these ego interests, as they are called, originate is discussed in the next chapter.
Terakhir, energi dari ego digunakan untuk memastikan terjadinya sintesis atau integrasi dari ketiga sistem yang dimiliki personalitas. Tujuan dari sintesis ini adalah untuk menghasilkan harmoni-dalam dan transaksi yang mulus dengan lingkungan. Ketika ego sedang melakukan fungsi sintesisnya dengan bijak, id, ego, dan superego dipersatukan ke dalam keseluruhan yang padu dan tertata. Masih ada yang hendak kami bahas perihal fungsi sintesis dari ego ini, tapi itu di bab-bab yang akan datang.
Dengan membandingkannya dengan mobilitas energi dalam id, energi dari ego amatlah kurang cair dan amat terikat. By the binding of energy is meant that it is invested in mental operations and not expended in impulsive action or wish-fulfillment. Ego mengikat energi dengan menyalurkannya ke dalam proses-proses psikologis, dengan menyuntikkannya ke dalam anti-cathexes, dengan membentuk ego interests, dan dengan menggunakannya untuk sintesis. Sewaktu ego berkembang, ia menghabiskan semakin banyak energinya untuk fungsi-fungsi ini.

C. SUPEREGO. 

Ketakutan akan hukuman dan keinginan akan approval membuat anak mengidentifikasikan dirinya dengan nasihat-nasihat moral orangtuanya. Identifikasi dengan orang tua ini menghasilkan pembentukan superego. Akan tetapi tidak seperti identifikasi realistik dari ego identifikasi yang atasnya superego didasarkan adalah orangtua yang diidealisir atau orangtua yang mahakuasa. Orangtua disuntikkan kekuasaan-kekuasaan besar dalam menghukum dan mengganjar si anak. Sebagai akibatnya, superego juga dilengkapi dengan kekuasaan untuk mengganjar dan menghukum. Mengganjar dilakukan oleh ego-ideal, menghukum oleh nurani [conscience].
Larangan-larangan nurani adalah hambatan-hambatan atau anti-cathexes yang membendung pelepasan energi instingtual baik secara langsung dalam prilaku impulsif dan wish-fulfillment, maupun secara tak langsung melalui cara mekanisme-mekanisme ego. Artinya, nurani melawan baik id maupun ego, dan berusaha menunda pelaksanaan prinsip kenikmatan dan prinsip realitas. Seseorang yang memiliki nurani yang kuat secara konstan selalu siap sedia dalam memerangi impuls-impuls immoral. Dia menghabiskan begitu banyak energinya demi melawan id sehingga dia tidak memiliki cukup energi untuk melakukan kerja-kerja yang bermanfaat dan memuaskan. Sebagai akibatnya, dia menjadi terimmobilisasi dan hidup bagaikan mengenakan mantel-pengikat.
Antic-athexes dari nurani berbeda dari anti-cathexes yang dimiliki ego. Daya-daya perlawanan ego melayani tujuan-tujuan dalam menangguhkan aksi final dengan maksud agar ego bisa membagankan rencana yang memuaskan. Larangan-larangan dari nurani, di lain pihak, berusaha menghilangkan semua pikiran tentang suatu aksi apapun. Nurani berkata “No” pada semua insting, sementara ego berkata “Tunggu”.
Ego-ideal berusaha mencapai kesempurnaan. Energinya is invested in cathecting ideals yang merupakan representatif-representatif yang diinternalisasi dari nilai-nilai moral orang tua. Ideal-ideal ini merepresentasikan objek-choice yang perfeksionis. Orang yang memiliki sebagian besar energinya terikat dalam ego-ideal adalah seorang idealis dan high-minded. Pilihan-pilihannya atas objek ditentukan lebih oleh nilai-nilai moralistik mereka daripada nilai-nilai yang realistik. Dia lebih concerned dengan pemilahan yang baik dari yang buruk daripada dengan membedakan antara true dan false. Bagi orang semacam itu, virtue lebih penting daripada truth.
Dengan mengidentifikasikan diri dengan object-choices etis yang dimiliki ego-ideal, ego merasakan semacam kebanggaan. Rasa bangga merupakan ganjaran yang diberikan ego-ideal kepada ego karena telah berbuat baik. Ini analog dengan perasaan yang anak miliki ketika dia dipuji oleh orangtuanya. Di lain pihak, ketika ego mengidentifikasikan diri dengan atau memilih suatu objek yang dianggap tak layak oleh superego, superego menghukum ego dengan membuatnya merasa malu dan bersalah. Inipun amat menyerupai situasi yang terjadi ketika seorang anak dihukum ibunya atau ayahnya karena telah berbuat nakal.
Rasa bangga adalah bentuk narcissisme sekunder. Ego mencintai dirinya karena telah melakukan apa yang dianggap saleh. “Kesalehan adalah ganjarannya itu sendiri.” Dengan cara yang sama bisa dikatakan bahwa dosa adalah bentuk hukumannya itu sendiri.
Demikianlah kita melihat bahwa energi dari id disalurkan kepada ego dan superego melalui mekanisme identifikasi. Energi tersebut lalu bisa digunakan oleh ego atau superego untuk melancarkan atau menghambat tujuan-tujuan id, yang adalah mengejar kenikmatan (bebas dari ketegangan) dan untuk menghindari rasa sakit (semakin sengitnya ketegangan). Kita telah melihat bagaimana ego mensekutukan diri dengan id demi memuaskan insting-insting. Dilain pihak, akanlah terlihat bahwa superego, sebagai musuh segala hal yang immoral, insting yang gandrung akan kenikmatan, pastilah selalu menentang id. Tapi ini tidaklah selalu begitu. Superego bisa dimanipulasi oleh id demi tujuan mendapatkan kepuasan bagi insting-insting. Yaitu, superego bisa bertindak sebagai agen id baik dalam kaitannya dengan dunia eksternal maupun dalam hubungannya dengan ego. Sebagai contoh, superego dari orang yang moralistik bisa menjadi amat agresif dalam melawan egonya. Ego itu dibikin untuk merasa tak layak dan jahat. Orang yang mengalami hal ini bahkan bisa sampai melakukan bunuh diri. Tindakan-tindakan agresi-diri ini memuaskan impuls-impuls agresif yang dimiliki id.
Superego dari orang yang amat high-minded bisa juga memuaskan id-nya dengan menyerang orang yang dipandang sebagai immoral. Cruelty masquerading as moral indignation bukanlah tidak diketahui dan telah dipraktekkan dalam skala yang luas. Lihatlah, misalnya, brutalitas dari Inkuisisi, pembakaran tukang sihir, dan pembunuhan masal yang disebarkan oleh Nazi. Ostensibly*, serangan-serangan sadistis ini dipicu oleh api moral dari ordo yang tertinggi. Akan tetapi pada kenyataannya semua ini merepresentasikan ekspresi dari daya-daya id yang primitif. Dalam kasus-kasus semacam itu, superego dikatakan dikorupsi oleh id.
Id dan superego sama-sama memiliki kualitas yang lain. Keduanya berfungsi secara irasional dan mendistorsikan atau memfalsifikasi realitas. Atau tepatnya kita harus mengatakan bahwa id dan superego mendistorsikan pemikiran realistik yang dimiliki ego. Superego mendesak ego untuk melihat hal-hal sebagaimana mereka harusnya ada, bukan sebagaimana adanya mereka. Id memaksa ego untuk melihat dunia menurut yang diinginkan id. Dalam kedua kasus, proses sekunder, pengujian realitas, dan prinsip realitas dibelokkan [disesatkan] oleh kekuatan irasional.
Dalam menutup bagian tentang distribusi dan pembuangan energi psikis dalam personalitas ini, haruslah diingat bahwa energi yang tersedia itu terbatas. Artinya jika ego mendapat energi, id atau superego—atau keduanya—haruslah kekurangan energi. Memberikan energi pada satu sistem personalitas berarti menarik energi dari sistem lain. Orang yang memiliki ego kuat akan memiliki id dan superego yang lemah.
Dinamika personalitas terdiri dari perubahan-perubahan distribusi energi. Tindak-tanduk seseorang ditentukan oleh dinamikanya ini. Jika bagian besar energi dikontrol oleh superego, prilakunya akanlah moralistik. Jika energinya dikontrol oleh ego prilakunya akanlah realistik. Dan jika energi itu direbut kembali oleh id, yang merupakan sumber dari segenap energi psikis, tindakan-tindakannya akanlah impulsif. What a person is and does is inevitably an expression of the way in which the energy is distributed.

IV. CATHEXIS AND ANTI CATHEXIS

Dalam salah satu tulisannya Freud mencirikan psikoanalisis sebagai “konsepsi dinamis yang mereduksi kehidupan mental pada kesaling-bermainan [kesalingpengaruhan]** daya-daya yang mendorong dan menghambat secara timbal balik.” Daya yang mendorong itu adalah cathex, dan kekuatan yang menghambat itu adalah anti-cathex.
Seperti yang telah kita lihat, id hanya memiliki cathex-cathex sementara ego dan superego juga memiliki anti-cathex. Pada kenyataannya, ego dan superego mengada karena dirasa perlu untuk membendung tindakan-tindakan terburu-buru [imprudent] yang dilakukan id. Akan tetapi, sewaktu proses-proses yang membentuk ego dan superego bertindak sebagai rem terhadap id, ego dan superego pun memiliki kekuatan-kekuatan pengarahnya sendiri.
Cara lain dalam memandang konsep anti-cathexis adalah dengan memandangnya sebagai internal frustration. Daya yang menentang itu menghambat* pelepasan ketegangan. Jenis penghambatan ini [frustration] harus dibedakan dari jenis lain yang disebut external frustration. Dalam external frustration objek-tujuan tidak bisa didapatkan karena alasan-alasan yang tak dapat dikontrol orang. Orang mungkin ingin makanan, tapi jika tak ada makanan di sekitarnya atau jika dia dihindarkan dari mendapatkannya, laparnya itu akanlah tetap tak terpuaskan. External frustration is a state of of privation or deprivation, sementara internal frustration adalah penghambatan batiniah. Ketika orang ingin melakukan sesuatu tapi ada rintangan eksternal menghadang jalannya, itu adalah external frustration. Jika orang ingin melakukan sesuatu tapi ego atau superegonya berusaha menghalanginya dalam melakukan hal itu, itu adalah internal frustration.
Freud mengamati bahwa internal frustration (anti-cathexis) tidaklah ada sampai external frustration menyiapkan dasar-dasar bagi kemunculannya. Artinya, orang harus mengalami privation atau deprivation terlebih dulu sebelum dia bisa mengembangkan kontrol-kontrol batiniah. Dalam kasus superego, misalnya, anak tidaklah mengembangkan disiplin-diri sampai dia telah memiliki kesempatan untuk mengidentifikasikannya dengan larangan-larangan moral orangtuanya. Seorang anak harus belajar apa yang buruk dengan mengalami pemberian hukuman sebelum dia bisa memapankan kontrol batiniahnya atas prilaku-prilakunya.
Konsep tentang daya-daya mendorong dan menghambat ini memampukan kita memahami kenapa kita berpikir dan bertindak seperti yang kita lakukan. Umumnya, jika daya-daya pendorong lebih kuat daripada kekuatan yang menghambat, beberapa tindakan akan berlangsung atau beberapa gagasan akan menjadi conscious [sadar]. Jika anti-cathex lebih berat daripada cathex, tindakan atau pikiran itu akan direpresi. Akan tetapi, bahkan jika anti-cathexis tidak ada/hadir, proses mental bisa saja amat lemah dalam kandungan energinya sehingga kesadaran atau tindakan itu tidak mengejawantah.
Ambil sebagai contoh kasus dari orang yang sedang berusaha mengingat sesuatu. Dia mungkin tidak dapat mengingat karena jejak memori tersebut tidak diberi energi dalam jumlah yang mencukupi. Jejak memori itu diberi energi yang minim karena pada dasarnya pengalaman tersebut tidak memberikan kesan yang kuat bagi orang itu. Atau energi yang dimiliki jejak memori itu telah habis dalam kegiatan membikin jejak-jejak ingatan yang baru. Proses mempelajari sesuatu yang baru biasanya berarti bahwa sesuatu yang lama harus di-unlearned atau dilupakan. Alasan untuk hal ini adalah bahwa orang memiliki energi yang terbatas. Ketika suntikan-suntikan [energi] baru dilakukan, energi haruslah dipinjam dari object-cathex-objek-cathex yang sudah mapan. Sebagai akibatnya cathex-cathex memeori yang lama dibikin lemah sewaktu energi diberikan pada cathex-cathex memori yang baru.
Jejak-jejak memori yang memiliki sedikit energi atau yang energinya seluruhnya telah dipindahkan pada jejak-jejak memori yang lain diistilahkan dengan terlupakan. Jejak-jejak ini bisa dikembalikan dalam ingatan melalui pengulangan pengalaman. Demikianlah ketika orang lupa nomor telepon dia bisa menyuntikan energi pada jejak memori tersebut dengan mencari nomor itu di buku telepon. Ini disebut menyegarkan ingatan seseorang.
Di lain pihak, orang mungkin tak bisa mengingat sesuatu karena cathexis dari jejak memori tersebut ditentang oleh suatu bentuk perlawanan atau anti-cathexis. Ingatan-ingatan semacam itu disebut terrepresi alih-alih dilupakan.
Ingatan yang direpresi bisa dipanggil kembali baik melalui pengurangan kekuatan anti-cathexis yang ada atau dengan menambah kekuatan yang dimiliki cathexis tersebut. Tak satu pun dari kedua hal ini yang mudah untuk dilakukan. Yang kerapkali kita dapati adalah semakin keras usaha orang untuk membobol represi, semakin kuatlah benteng pertahanan itu. Teknik-teknik khusus, seperti misalnya hipnosis atau asosiasi-bebas dipakai untuk melemahkan benteng pertahanan tersebut. Perlawanan itu juga cenderung melemah ketika tidur sehingga kita mungkin ingat akan sesuatu dalam mimpi yang selama kehidupan terjaga hal tersebut selalu direpresi.
Kenapa ingatan-ingatan direpresi? Ada dua alasan pokok. Ingatan itu sendiri adalah ingatan yang menyakitkan atau ingatan tersebut diasosiasikan dengan sesuatu yang menyakitkan. Contohnya, orang akan melupakan nama seorang kenalan karena perkenalan pertamanya itu menyakitkan. Atau dia mungkin melupakan nama itu karena nama itu berkaitan dengan sesuatu yang menyakitkan. Dalam kedua kasus, anti-cathex bertujuan melindungi orang tersebut dari ketaknyamanan dan kecemasan. All of which means that adalah lebih mudah untuk melupakan janji pertemuan dengan dokter gigi daripada melupakan kencan.
Realitas dari daya pendorong dan penghambat dalam personalitas is brought home to one repeatedly. Contoh tipikal adalah dorongan untuk mengosongkan kantong pencernaan yang dihambat oleh rasa ketakpantasan waktu dan tempat untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Contoh familiar lainnya adalah impuls untuk menjegal orang lain yang dibendung oleh rasa sosial. Mengalami sesuatu sudah berada di ujung lidah menunjukkan bahwa represi sedang berlangsung; semakin keras orang berusaha mengingatnya semakin alot pula bendungannya. Jika orang mengalihkan perhatiannya pada hal lain, resistensi itu bisa melemah dan ingatan yang terepresi akan muncul secara spontan ke dalam kesadaran. Bermacam contoh yang lain dari daya penghambat ini bisa diberikan. Kadang orang sadar akan perlawanan ini sementara pada saat yang lain dia mengalami suatu perasaan ketegangan tanpa sadar sedikit pun akan daya-daya penghambat ini.
Pembendungan suatu cathexis oleh anti-cathexis disebut conflik endopsikis atau batiniah. Suatu konflik endopsikis adalah konflik yang terdapat di dalam personalitas. Konflik-konflik semacam itu harus dibedakan dari konflik-konflik antara orang dengan lingkungannya. Meski konflik-konflik endopsikis amat beragam, sama banyaknya dengan jumlah pertentangan antara cathex-cathex dengan anti-cathex, semua itu bisa diklasifikasi dibawah satu dari dua kategori, konflik id-ego, konflik ego-superego. Tak ada konflik antara id dengan superego karena oposisi diantara id dengan superego selalu melibatkan ego. Itu berarti, id dan superego berkonflik karena masing-masing berusaya menggunakan/memanfaatkan ego demi kepentingan mereka sendiri. Lebih jauh lagi, konflik id-ego yang sederhana bisa menjadi rumit jika superego bersekutu bersama id dalam memerangi ego atau bergabung dengan ego dalam melawan id. Ego adalah elemen common dalam semua konflik, termasuk konflik-konflik yang melibatkan oposisi dengan dunia eksternal. Semenjak hasil dari konflik adalah decisif bagi perkembangan personalitas, kita akan membahas subjek penting ini sekali lagi di bab selanjutnya.
Praktisnya setiap proses personalitas diregulasi oleh peran-peran yang dimainkan leh cathexis dan anti-cathexis. Kadang keseimbangan diantara mereka begitu rapuh [delicate] sehingga sedikit saja pergeseran dalam rasio kekuatan yang dimiliki cathexis kepada kekuatan anti-cathexis akan menentukan perbedaan antara melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Sedikit penambahan energi dalam cathexis atau secuil kemerosotan energi dalam anti-cathexis saja yang terjadi ketika jari orang yang ada pada pelatuk pistol bisa membuat pistol itu menyalak, satu orang terbunuh, dan pembunuhan dilakukan, didakwa, dan kemudian digantung. Keseimbangan yang rapuh dari kekuasaan yang seringkali ada antara daya-daya pendorong dan penghambat dalam suatu personalitas benar-benar membuat sulit untuk memprediksi setepatnya apa yang akan orang lakukan dalam situasi tertentu. karena tak beda dengan sepercik api bisa mendatangkan kebakaran mengerikan begitu juga pertambahan energi yang bahkan tak kasat mata dalam cathexis bisa memicu rangkaian peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang far-reaching. Ketakmampuan meramalkan prilaku orang ini menghindarkan psikologi untuk menjadi ilmu pengetahuan yang amat eksak. Ini yang ada dalam benak Freud ketika menulis:
Sepanjang kita menelusuri perkembangan dari tahap terakhir bergerak mundur ke belakang, kaitan-kaitan muncul secara kontinyu, dan kita merasa kita telah mendapatkan satu insight yang sepenuhnya memuaskan atau bahkan exhaustive. Tapi jika kita melakukannya dengan cara sebaliknya, jika kita memulai dari premis-premis yang diambil dari analisis dan mencoba mengikuti semua ini sampai pada hasil akhirnya, lalu kita tidak lagi mendapat kesan [gambaran] akan sekuens tak terhindarkan dari peristiwa-peristiwa yang tak akan kita pahami dengan cara sebaliknya. Kita insaf bahwa mungkin saja akan ada hasil yang lain, dan bahwa kita mampu untuk memahami dan menjelaskan yang belakangan. Sintesis ini dengan demikian tidaklah sama memuaskannya dengan analisis itu; dengan kata lain dari pengetahuan akan premis-premis kita tidak bisa meramalkan [foretold] hasilnya.
Amatlah mudah untuk menjelaskan this disturbing state of affairs. Bahkan mengandaikan bahwa kita sepenuhnya tahu faktor-faktor aetiologis yang menentukan suatu hasil tertentu, tetaplah kita mengetahuinya hanya secara kualitatif, dan tidak dalam kekuatan relatifnya. Sebagian mereka sama lemahnya untuk menjadi disupresi oleh yang lain, dan karena itu tidak mempengaruhi hasil akhirnya. Tapi kita tidak pernah tahu sebelumnya yang mana dari faktor-faktor penentu itu yang terbukti lebih lemah atau lebih kuat. Kita hanya mengatakan pada akhirnya bahwa faktor yang berhasil pasti adalah yang lebih kuat. Hence selalulah mungkin melalui analisis untuk mengenali sebab-musabab tersebut dengan kepastian, sementara suatu prediksi atasnya melalui sintesis adalah mustahil.[1]

Apa yang Freud katakan di sini adalah bahwa karena the subtleties dalam intensitas relatif daya-daya pemicu dan daya penghambat dan karena perubahan-perubahan kecil dalam intensitas-intensitasnya bisa menghasilkan efek-efek yang besar, psikologi tidak dapat menjadi sebuah ilmu yang prediktif. Akan tetapi ia bisa menjadi suatu ilmu yang postdiktif dalam artian bahwa given a result it can look back an unearth the causes that produced the result.
Dalam bab berikutnya kita akan kembali pada persoalan peran yang dimainkan cathexis dan anti-cathexis dalam perkembangan personalitas. kIta juga akan memeriksa permasalahan tentang bagaimana suatu cathexis bisa berkelit dari suatu upaya pembendungan dengan cara menemukan jalan-keluaran yang lain.

V. KESADARAN DAN BAWAH-SADAR

Di tahun-tahun awal psikoanalisis konsep sentral dari teori Freud adalah bawah sadar. Dalam rumusan-rumusan Freud belakangan, dimulai sekitar 1920, bawah sadar dilengserkan dari statusnya sebagai wilayah pikiran yang paling besar dan paling penting menjadi semacam kualitas dari fenomena mental. Banyak dari apa yang sebelumnya diacukan pada bawah sadar menjadi [diacukan] pada id, dan distingsi struktural antara kesadaran dan bawah sadar diganti dengan organisasi tiga bagian dari id, ego, dan superego.
Meski bukanlah tujuan kami disini menuliskan sejarah perkembangan gagasan-gagasan Freud dalam hubungannya dengan sejarah psikologi, bisalah ditunjukkan bahwa artipenting bawah sadar yang menyusut itu dalam psikoanalisis berparalel dengan menurunnya signifikansi pikiran sadar dalam psikologi. Sepanjang abad 19 psikologi sibuk menganalisis pikiran sadar, psikoanalisis terlibat dalam eksplorasi-eksplorasi pikiran bawah sadar. Freud merasa kesadaran hanyalah serpihan tipis dari keseluruhan pikiran, seperti puncak gunung es, bagian terbesar darinya yang terkubur dibalik permukaan air kesadaran.
Para psikolog menjawab Freud dengan mengatakan bahwa pandangan akan suatu pikiran bawah sadar merupakan istilah yang kontradiktif; pikiran, berdasarkan definisi, adalah sadar. Kontroversi itu tidak pernah mencapai konklusi final karena baik psikologi maupun psikoanalisis mengubah objektif-objektifnya selama abad 20. Psikologi menjadi ilmu tentang prilaku, dan psikoanalisis menjadi ilmu tentang personalitas. Pada saat ini terdapat banyak indikasi bahwa dua ilmu itu sedang menuju pada titik yang sama untuk bergabung menjadi ilmu yang tunggal.
Dari sudut pandang kita sekarang ini, muncul apa yang telah Freud upayakan selama tiga puluh tahun antara 1890 sampai 1920, ketika pikiran bawah sadar ditinggikan sebagai konsep yang berdaulat dalam sistem psikologisnya, untuk menemukan kekuatan-kekuatan penentu dalam personalitas yang tidak secara langsung diketahui para peneliti. Sama halnya dengan fisika dan kimia memperkenalkan apa yang sebelumnya tak dikenal tentang kodrat benda-benda melalui eksperimen dan demonstrasi, begitu pula tugas psikologi bagi Freud adalah untuk mengungkapkan ke permukaan faktor-faktor dalam personalitas yang sebelumnya tak diketahui. Ini tampaknya menjadi makna statemen Freud ketika mengatakan bahwa “kerja ilmiah kami dalam psikologi terbentuk dalam penerjemahan proses-proses bawah sadar mejadi proses sadar, dan dengan demikian menjembatani gap-gap dalam persepsi-persepsi sadar.”[2] Freud semata-mata mengakui fakta yang dikenal luas bahwa tujuan dari segenap ilmu pengetahuan adalah mensubtitusi pengetahuan untuk keabaian. Sebagai contoh, manusia tidak secara langsung sadar akan proses pencernaan yang berlangsung, tapi fisiologi bisa memberitahukan apa yang terjadi ketika proses pencernaan berlangsung. Pengetahuan ini tidaklah membuat dia bisa mempersepsi (secara langsung sadar akan) proses-proses pencernaannya sendiri sewaktu semua itu berlangsung; meski demikian dia tahu (faham) apa yang terjadi. Dalam cara serupa pula, orang tidak sadar akan proses-proses mental bawah sadar, tapi psikologi bisa mengajarinya tentang apa yang sedang berlangsung dibawah permukaan kesadaran.

Sebagai contoh, orang yang mengalami kecelakaan biasanya tidak sadar bahwa kecelakaan itu merepresentasikan keinginan untuk melukai diri. Akan tetapi inilah tepatnya apa yang ditunjukkan sejumlah studi yang telah dilakukan. Atau orang yang memiliki kegandrungan abnormal pada makanan atau minuman biasanya tidak sadar akan fakta bahwa kegandrungannya itu mungkin tumbuh dari hasrat tertahan akan cinta. Yet this is often the case. Bahkan ketika orang menjadi tahu [learn] bahwa terdapat hubungan antara kecenderungan-untuk-mengalami-kecelakaan [accident proneness] dan rasa perasaan bersalah atau antara alkoholisme dengan cinta yang terhambat, dia barangkali belumlah tentu untuk secara langsung sadar bahwa hubungan ini ada dalam dirinya.
Freud percaya bahwa bila psikologi hendak menjustifikasi diri sebagai sebuah ilmu ia haruslah menyingkapkan sebab-sebab perilaku yang masih belum diketahui [unknown]. Itulah kenapa dia banyak membuat sebab-musabab atau motivasi bawah sadar dalam tahun-tahun awal psikoanalisisnya. Bagi Freud, apa yang bawah sadar adalah apa yang unknown.
Sadar dan bawah sadar dimasukkan dalam teori psikoanalitik setelah 1920 sebagai kualitas-kualitas dari fenomena mental. Apakah isi dari pikiran itu sadar atau bawah sadar tergantung pada the magnitude of the energy invested in it dan intensitas dari daya pembendungnya. Orang merasa sakit atau dia merasa nikmat ketika jika jumlah [the magnitude] rasa sakit atau rasa nikmat itu melampaui nilai cathexis tertentu yang disebut nilai ambang. Seperti itu pula, dia mempersepsi sebuah objek di dunia ketika proses-proses perseptual diberi energi yang melampaui nilai ambang tersebut. Bahkan ketika cathexis melebihi ambang itu, perasaan itu atau persepsi itu bisa tidak memiliki kualitas kesadaran karena efek-efek penghambat dari anti-cathexis yang menjauhkannya untuk menjadi sadar.
Sebagai contoh, kasus-kasus yang diketahui dari orang yang tak bisa melihat terlepas dari fakta bahwa tak ada yang salah dengan mekanisme visualnya. Mereka buta karena mereka tidak ingin melihat. Ini berarti bahwa suatu kekuatan pembendung (anti-cathexis) secara efektif memblokir cathex-cathex visual. Alasan kenapa mereka tidak ingin melihat adalah bahwa melihat adalah terlalu menyakitkan bagi mereka. Mereka secara harfiah takut untuk melihat, seperti orang yang menutupkan mata ketika menonton bioskop agar tidak menyaksikan suatu adegan yang mengerikan.
Persepsi dan perasaan merupakan pengalaman-pengalaman langsung atas sesuatu yang terjadi pada orang at the present time. Ingatan dan gagasan, di lain pihak, merupakan representasi mental dari pengalaman-pengalaman yang telah lalu. Agar gagasan dan ingatan menjadi sadar, perlulah bagi mereka untuk diasosiasikan dengan bahasa. Orang tidak bisa berpikir atau mengingat kecuali jika apa yang dia pikirkan dan dia ingat telah dikaitkan dengan kata-kata yang pernah dia lihat atau dengar. Consequently orang tidak dapat dengan sadar mengingat pengalaman-pengalaman masa kanak yang berlangsung sebelum perkembangan bahasa dimulai. Akan tetapi, terlepas dari fakta bahwa orang tidak dapat mengingat pengalaman-pengalaman awal tersebut, semua itu bisa memiliki artipenting decisif dalam perkembangan personalitas.
Freud membedakan antara dua kualitas bawahsadar, prasadar dan bawah sadar sejati. Suatu gagasan atau ingatan prasadar adalah yang bisa menjadi sadar dengan lumayan mudah karena resistensi terhadap mereka lemah. Suatu pikiran atau ingatan bawah sadar butuh upaya keras untuk menjadi sadar karena besarnya kekuatan yang membendungnya. Di satu ujung skala tersebut adalah ingatan yang tidak akan pernah menjadi sadar karena ia tidak memiliki asosiasi dengan bahasa; di ujung yang lain adalah ingatan yang ada di ujung lidah.

Semenjak konsentrasi besar dari energi dalam suatu proses mental dibutuhkan agar ia memiliki kualitas untuk menjadi sadar, energi untuk tujuan ini harus diperoleh dengan cara membelokkan pasokan energi dari proses-proses mental lain. Ini berarti bahwa kita hanya bisa menjadi sadar atas satu hal pada suatu saat. Akan tetapi, pergeseran energi yang cepat dari satu gagasan, ingatan, persepsi, atau perasaan pada yang lainnya menyediakan cakupan yang luas akan penyadaran yang sadar dalam waktu yang singkat. Orang bisa memikirkan atau berloncatan dalam mengingat begitu banyak hal dengan cepat dikarenakan mobilitas yang dimiliki energi psikis ketika semua itu diredistribusikan. Sistem perseptual seperti mekanisme sebuah radar yang memindai dengan cepat dan memotret banyak gambar dari dunia. Ketika sistem perseptual memperlihatkan suatu objek yang dibutuhkan atau menangkap keberadaan suatu ancaman potensial dalam dunia eksternal, ia beristirahat dan memfokuskan perhatiannya pada objek atau ancaman tersebut. Ideas and memories are summoned from the preconscious to help the person adjust to the situation confronting him. Ketika ancaman itu berlalu atau kebutuhan sudah dipuaskan, pikiran mengalihkan perhatian pada hal-hal yang lain. 

VI. THE INSTINCT

Sudah dituliskan dalam bagian sebelumnya dari bab ini (lihat Bagian II, “Instinct”) bahwa insting merupakan jumlah dari energi psikis yang memberikan arah pada proses-proses psikologis, dan bahwa ia memiliki sumber, tujuan, objek dan impetus. Berapa banyakkah insting yang ada? Jumlahnya sama banyaknya dengan kebutuhan-kebutuhan ragawi, semenjak insting merupakan representasi mental dari suatu kebutuhan ragawi. Freud mengatakan bahwa pertanyaan tentang jumlah insting adalah hal yang harus ditentukan oleh penyelidikan biologis.
In his final reckoning, Freud mengenali dua kelompok besar insting, kelompok yang berperan melayani kehidupan, dan kelompok yang melayani kematian. Tujuan akhir dari insting-insting kematian adalah mengembalikan pada keadaan konstan yang dimiliki materi inorganik. Freud berspekulasi bahwa insting-insting kematian were built into living matter at a time in the evolution of the earth ketika kekuatan-kekuatan kosmik melakukan tindakan atas materi inorganik dan mengubahnya menjadi bentuk-bentuk kehidupan. Hal-hal kehidupan yang awali ini barangkali hanya berjalan amat singkat dan kemudian kembali (mengalami regresi) ke keadaan inorganis semula. Kehidupan pada dasarnya terdiri dari keadaan terganggu [disturbed] yang dihasilkan melalui stimulasi ekternal. Ketika gangguan itu mereda percik-percik kehidupan terbit. As a result of these conditions surrounding the creation of life, regresi pada keadaan inorganik menjadi tujuan dari yang organis.
Seiring perjalanan evolusi dunia, bentuk-bentuk energi baru menciptakan gangguan-gangguan yang lebih bertahan lama sehingga rentang hidup pun lebih panjang. Eventually makhluk-makhluk hidup mendapatkan kekuatan untuk bereproduksi. Pada titik dalam evolusi ini penciptaan kehidupan menjadi independen dari stimulasi eksternal. Meski insting reproduksi memastikan [insure] kontinuitas kehidupan, kehadiran suatu insting kematian berarti bahwa tak ada makhluk hidup yang bisa hidup selamanya. Takdir terakhirnya selalulah kembali ke keadaan inorganik. Freud percaya bahwa hidup adalah jalan melingkar menuju kematian.
Insting-insting kematian melaksanakan kerja-kerjanya secara misterius. Sedikit yang diketahui tentang insting-insting itu kecuali bahwa mereka secara tak terelakkan berhasil mencapai misinya. Akan tetapi, derivatif-derivatif dari insting-insting kematian, yang diantara insting terpentingnya adalah destructiveness dan agresi, jauh dari bersifat misterius. Diskusi tentang derivatif-derivatif insting akan ditemukan dalam Bab 4, “The Development of Personality.” Cukuplah untuk mengatakan di sini bahwa derivatif dari suatu insting adalah suatu daya pendorong yang memiliki sumber dan tujuan yang sama dengan insting yang darinya ia diasalkan, tapi berbeda dalam hubungannya dengan cara-cara yang melaluinya tujuan itu dicapai. Dengan kata lain, derivatif dari suatu insting is a substitute object-cathexis.
Insting-insting kehidupan lebih dikenal karena efek-efeknya lebih publik. Semua itu merupakan representatif mental dari segenap kebutuhan-kebutuhan ragawi yang kepuasannya diperlukan untuk survival dan perkembang-biakkan. Insting-insting seks adalah insting kehidupan yang paling mendalam ditelaah dan mengasumsikan artipenting besar dalam teori personalitas psikoanalitik. Insting-insting seks memiliki sumber-sumbernya dalam bermacam zona ragawi, yang disebut zona-zona erogenus. Mulut, anus, dan organ-organ genital merupakan zona-zona erogenus yang utama. Freud memandang bahwa suatu zona erogenus mungkin merupakan bagian tubuh yang dipekakan oleh [peka karena] substansi-substansi kimiawi (hormon-hormon] yang dikeluarkan oleh kelenjar-kelenjar seks [sex glands]. Insting-insting seks muncul secara independen satu sama lain dalam hidup seorang individu, tapi pada pubertas [kematangan seksual] mereka lumrahnya menjadi disintesiskan dalam tugas-tugas reproduksi. Insting-insting seks juga berinteraksi dengan insting-insting kehidupan lainnya. Mulut sebagai portal bagi makanan juga sebagai bagian tubuh yang ketika dirangsang dengan mencukupi akan memunculkan kenikmatan sensual. Anus adalah organ yang melaluinya produk-produk-buangan dieliminir tapi ia juga memberikan kenikmatan ketika ia distimulasi dalam cara tertentu. Derivatif utama insting-insting seks adalah cinta. Kita akan banyak membahas tentang insting-insting seks dan derivatif-derivatifnya dalam bab berikutnya.
Bentuk energi yang digunakan insting-insting kehidupan disebut libido, tapi tak ada nama khusus yang diberikan Freud bagi bentuk energi yang digunakan oleh insting-insting kematian. Dalam tulisan-tulisan yang lebih awalnya, Freud menggunakan term “libido” untuk menyebutkan energi seksual; tapi ketika dia merancang teorinya tentang motivasi, libido didefinisikan sebagai energi dari semua insting-insting kehidupan.
Insting-insting kehidupan dan kematian dan derivatif-derivatif mereka bisa saja melebur satu sama lain, saling menetralisir, atau saling mengganti satu sama lain. Satu contoh dari peleburan [fusion] instingtual adalah tidur, semenjak tidur adalah baik keadaan dimana ketegangan direduksi (a partial return along the road back to the inorganic) dan saat yang ketika itu proses-proses kehidupan sedang direvitalisasi. Kegiatan makan merepresentasikan suatu peleburan insting kehidupan dengan insting destructiveness yang derivatifnya adalah insting kematian, semenjak hidup ditopang oleh makan tapi pada saat yang sama makanan itu sedang dihancurkan dengan digigit, dikunyah, dan ditelan. Cinta, suatu derivatif dari insting-insting seks, seringkali menetralisir rasa benci, derivatif dari insting-insting kematian. Atau mereka bisa saling menggantikan seperti yang terjadi ketika cinta berubah menjadi benci atau benci yang berubah menjadi cinta.
Insting-insting bermukim dalam id, tapi mereka mengungkapkan diri dengan memandu proses-proses dari ego dan superego. Ego merupakan agen pokok dari insting-insting kehidupan. Ego melayani insting-insting kehidupan dalam dua cara penting. Ia lahir pada awalnya karena demi mendapatkan kepuasan bagi kebutuhan-kebutuhan ragawi. Ia melakukan hal ini dengan belajar melakukan transaksi-transaksi realistik dengan lingkungan. Ego juga melayani insting-insting kehidupan dengan mengubah [transforming] insting kematian ke dalam bentuk-bentuk yang tunduk pada tujuan-tujuan kehidupan alih-alih tujuan-tujuan kematian. Sebagai contoh, the primary death wish yang ada dalam id mengalami perubahan dalam ego menjadi agresi melawan musuh-musuh yang ada di dunia eksternal. Dengan melakukan tindakan agresif orang melindungi dirinya dari terluka atau dihancurkan oleh musuh-musuhnya. Agresi juga membantunya mengatasi rintangan-halangan yang tegak di tengah jalan menuju kepuasan yang diidamkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasarnya.
Akan tetapi ketika orang sedang agresif dia seringkali menemui kontra-agresi dari tokoh-tokoh otoritas dan musuh-musuh. Untuk menghindari hukuman, orang itu kemudian belajar untuk mengidentifikasi dengan agresor. Ini berarti bahwa dia menjadi agresif terhadap [dalam melawan] impuls-impuls yang membuat dirinya memiliki sikap bermusuhan kepada orang lain. Dengan kata lain, dia mengembangkan superego yang memainkan peran yang sama dalam mengontrol impuls-impulsnya seperti yang dilakukan otoritas eksternal.
Superego dalam perannya sebagai otoritas yang diinternalisasi kemudian mengambil aksi agresif terhadap ego kapanpun ego menimbang-nimbang untuk memiliki sikap bermusuhan atau memberontak terhadap suatu figur otoritas external. Urutan peristiwanya bisa diringkaskan sebagai berikut: (1) anak bersikap agresif kepada ayah, (2) sang ayah membalasnya dengan menghukum si anak, (3) si anak beridentifikasi dengan ayah yang menghukum tersebut, (4) otoritas yang dimiliki sang ayah diinternalisasi dan menjadi superego, dan (5) superego itu menghukum ego ketika ia tak mematuhi aturan moral dari superego. Dalam bentuk yang ekstrim, superego berusaha untuk menghancurkan ego. Inilah apa yang terjadi, contohnya, ketika orang merasa begitu malu akan dirinya sendiri sehingga dia punya kecenderungan untuk bunuh diri.
Semenjak ego merupakan agen kehidupan, superego dengan berusaha menghancurkan ego punya tujuan yang sama dengan the original death wish in the id. Itulah kenapa superego disebut-sebut sebagai agen dari insting-insting kematian.

VII. ANXIETY

Kecemasan merupakan salah satu konsep paling penting dalam teori psikoanalisis. Ia memainkan peran penting dalam perkembangan personalitas juga dalam dinamika bekerjanya personalitas. Lebih lagi, ia merupakan signifikansi sentral dalam teori Freud tentang neurosis dan psikosis dan dalam perawatan atas kondisi-kondisi patologis ini. Diskusi sekarang akan membatasi diri pada pembahasan atas bagian yang dimainkan kecemasan dalam berfungsinya personalitas normal.
Kecemasan adalah pengalaman emosional yang menyakitkan yang dihasilkan melalui Excitasi-excitasi dalam organ-organ internal tubuh. Excitasi-excitasi ini dihasilkan dari stimulasi internal atau eksternal dan dikendalikan oleh sistem saraf otonomis. Sebagai contoh, ketika orang menghadapi suatu situasi yang membahayakan jantungnya berdetak lebih kencang, bernafas dengan lebih cepat, mulut menjadi kering, dan telapak tangannya berkeringat.
Kecemasan dibedakan dari keadaan-keadaan menyakitkan lainnya, seperti misalnya ketegangan, rasa sakit, dan melankoli oleh beberapa kualitas tertentu dari kesadaran. Exactly apa yang menentukan kualitas ini yang belum diketahui. Freud berpandangan bahwa ia mungkin merupakan beberapa ciri distingtif dari the visceral excitations themselves. Dalam setiap kejadian, kecemasan merupakan keadaan sadar yang bisa dibedakan secara subjektif oleh orang yang mengalami rasa sakit, depresi, melankoli, dan ketegangan-ketegangan yang diakibatkan dari rasa lapar, haus, seks, dan kebutuhan-kebutuhan ragawi lainnya. Incidentally, tak ada hal seperti misalnya kecemasan bawah sadar any more than there is such a thing as rasa sakit bawah sadar. Orang bisa tak insaf akan alasan-alasan dari kecemasannya, tapi dia tidak dapat tidak [niscaya] insaf akan perasaan kecemasan tersebut. Kecemasan yang tidak dialami tidaklah ada.
Kecemasan adalah sinonim dengan emosi ketakutan. Freud memilih term anxiety daripada fear karena rasa takut biasanya dipahami dalam artian berada dalam kondisi takut akan sesuatu yang ada di dunia eksternal. Freud mafhum bahwa orang bisa saja takut akan ancaman-ancaman internal sebagaimana ancaman yang eksternal. Dia membedakan tiga tipe kecemasan, kecemasan realitas atau objektif, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral.
Ketiga tipe kecemasan ini tidak berbeda diantara masing-masingnya secara kualitatif. Mereka semua memiliki kualitas tunggal sebagai sesuatu yang tak mengenakkan. Mereka berbedaan hanya dalam hubungannya dengan sumber-sumber mereka. Dalam kecemasan realitas, sumber ancaman itu terletak di dunia eksternal. Orang takut akan ular berbisa, orang berpistol, atau mobil yang bergerak tak terkendali. Dalam kecemasan neurotik, ancaman itu terdapat dalam an instinctual object-choice of the id. A person is afraid of being overwhelmed by an uncontrollable urge to commit some act or think some thought which will prove harmful to himself. Dalam kecemasan moral, sumber ancaman itu adalah nurani dari superego. Orang takut dihukum oleh nurani karena melakukan atau memikirkan sesuatu yang bersebrangan dengan standar-standar yang dimiliki ego-ideal. Ringkasnya, ketiga tipe kecemasan yang dialami oleh ego adalah rasa takut akan dunia eksternal, rasa takut akan id, dan rasa takut akan superego.
Distingsi antara ketiga tipe kecemasan ini tidaklah berarti bahwa orang yang mengalami kecemasan sadar akan sumber aktualnya. Dia mungkin mengira bahwa dia takut akan sesuatu yang ada dalam dunia eksternal ketika pada kenyataannya ketakutannya itu berakar dari suatu ancaman impulsif atau ancaman dari superego. Misalnya, orang yang takut memegang pisau-pisau yang tajam mungkin mengira bahwa ketakutannya itu adalah karena pisau yang tajam secara intrinsik memang membahayakan, ketika pada kenyataannya apa yang menakutkannya adalah bahwa dia mungkin menjadi agresif dan melukai seseorang ketika dia sedang memegang pisau. Atau orang mungkin mengira bahwa dia takut berada di tempat tinggi karena tempat-tempat tinggi secara objektif berbahaya, ketika sebenarnya dia takut nuraninya will seize the opportunity of his being on a high place to punish him for his sins by causing him to fall off. Suatu keadaan cemas bisa memiliki lebih dari satu sumber. Ia bisa pula merupakan campuran dari kecemasan objektif dan neurotik, atau dari kecemasan moral dengan kecemasan objektif, atau dari kecemasan neurotik dan kecemasan moral. Ia juga bisa merupakan campuran ketiganya.

Fungsi satu-satunya kecemasan adalah untuk bertindak sewaktu suatu ancaman memberi sinyal kepada ego, sehingga ketika sinyal itu muncul dalam kesadaran the ego may institute measures to deal with the danger. Meski kecemasan adalah menyakitkan dan orang mungkin ingin semua itu sirna, ia melayani satu fungsi yang amat penting dengan memperingatkan orang akan keberadaan ancaman-ancaman internal dan eksternal. Dengan menjadi waspada, dia bisa melakukan sesuatu untuk mengenyahkan atau menghindarkan ancaman tersebut. Di lain pihak, jika ancaman itu tidak dapat dihindarkan, kecemasan bisa memuncak and finally overwhelm the person. Jika ini terjadi, orang itu dikatakan mengalami a nervous breakdown.

A. REALITY ANXIETY

Kecemasan realitas merupakan pengalaman emosional yang menyakitkan yang dihasilkan dari persepsi akan ancaman dalam dunia eksternal. Suatu ancaman adalah setiap kondisi yang ada di lingkungan yang mengancam akan melukai [mendatangkan kerugian, kenestapaan] orang tersebut. Persepsi akan ancaman dan munculnya kecemasan bisa saja bawaan lahir dalam artian bahwa orang tersebut mewarisi suatu kecenderungan untuk menjadi takut dengan kehadiran objek-objek tertentu atau kondisi-kondisi environmental tertentu, atau bisa juga kecemasan itu diperoleh sewaktu dia menjalani kehidupannya. Misalnya, takut akan gelap bisa merupakan bawaan lahir karena selama generasi-generasi yang telah lewat kaum prianya secara tetap terancam sepanjang malam sebelum mereka punya cara dalam membuat api, atau ia bisa dipelajari karena ia lebih cenderung mengalami pengalaman yang membangkitkan ketakutan sepanjang malam daripada di waktu siang hari. Atau adalah mungkin pewarisan dan pengalaman merupakan co-producers of fear of darkness. Pewarisan mungkin membuat orang menjadi rentan pada rasa takut tersebut sementara pengalaman bisa mengubah kerentanan itu menjadi aktualitas.
Dalam suatu peristiwa, ketakutan lebih mudah diperoleh sepanjang masa bayi dan masa kanak ketika ketakberdayaan dari organisme yang belum matang itu membuatnya tidak sanggup untuk mengatasi ancaman-ancaman eksternal. Organisme yang masih muda itu seringkali diliputi rasa takut karena egonya belum berkembang sampai satu titik di mana dia bisa mengontrol jumlah stimulasi yang eksesif.
Pengalaman-pengalaman yang membebani orang hingga dia tak bisa menanggungnya dengan kecemasan disebut traumatik, karena pengalaman-pengalaman itu mengembalikan dia pada keadaan helplessness yang dia alami ketika dalam fase bayi. Prototip dari segenap pengalaman traumatik adalah birth trauma. Bayi yang baru dilahirkan dibombardir dengan stimulasi eksesif dari dunia yang dalam fase sebelumnya, fase eksistensi fetal yang terlindung dalam rahim, tidak mempersiapkan si bayi dengan cara-cara untuk mengatasinya. Semasa tahun-tahun pertamanya, anak berhadapan dengan banyak situasi lain yang tidak dapat dia tangani, dan pengalaman-pengalaman traumatik ini menyiapkan landasan bagi perkembangan keseluruhan bentuk dan perkaitan-perkaitan dari rasa takut. Tiap situasi dalam kehidupan yang kemudian yang berpotensi mengembalikan orang itu pada keadaan helplessness masa kanak akan memicu sinyal kecemasan. Ketakutan semuanya berhubungan dan diasalkan dari pengalaman-pengalaman awal akan situasi helplessness ini. Itulah kenapa amat penting untuk memproteksi bayi dari pengalaman-pengalaman traumatik.
Akan tetapi kita bisa dan belajar bereaksi secara efektif ketika alarm dari kecemasan berdering. Kita kabur dari ancaman atau kita melakukan sesuatu untuk meredakan ancaman itu. Kita juga mendapat [lewat proses belajar] kemampuan untuk mengantisipasi ancaman dan mengambil langkah-langkah untuk mengenyahkannya sebelum ia menjadi traumatis. Kemampuan ini terdiri dari kemampuan untuk mengenali secuil perasaan akan apprehension sebagai sinyal untuk sesuatu yang akan menjadi lebih berbahaya kecuali hal itu dihentikan. Orang terus-terusan meregulasi perilakunya atas dasar of incipient feelings of apprehension. Ketika orang sedang mengemudikan mobil, misalnya, dia mengalami serangkaian apprehension yang memperingatkannya untuk bersikap waspada akan ancaman yang mungkin datang.
Ketika orang tidak bisa melakukan sesuatu untuk mengusir ancaman, kecemasan memuncak sampai pada titik dimana orang itu pening atau pingsan. Rasa takut diketahui bisa membunuh orang. Seperti yang akan kita lihat dalam bab selanjutnya, ego memiliki cara lain dalam berurusan dengan kecemasan.

B. NEUROTIC ANXIETY

Kecemasan neurotik dilahirkan oleh suatu persepsi akan bahaya dari insting-inting. Ia merupakan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi jika anti-cathex dari ego gagal untuk membendung object-cathex dari melepaskan ketegangan-ketegangannya dalam tindakan yang impulsif.
Kecemasan neurotik bisa muncul dalam tiga bentuk. Ada a free-floating type of apprehensiveness yang sudah melekatkan diri pada keadaan environmental yang kurang lebih suitable. Macam kecemasan ini mencirikan orang yang gugup yang selalu mengekspektasi sesuatu yang menakutkan akan terjadi. Tentang orang seperti ini kita menyebutnya bahwa dia takut akan bayangannya sendiri. Kita mungkin lebih baik mengatakan bahwa dia takut akan id-nya sendiri. Apa yang sebenarnya dia takuti adalah bahwa id yang secara konstan melakukan pressure pada ego akan mendapatkan kontrol atas ego dan mengembalikannya pada keadaan helplessness.
Bentuk kecemasan neurotik lainnya yang bisa dilihat adalah rasa takut intens dan irasional. Ini disebut phobia.
Ciri khas dari fobia adalah intensitas ketakutan itu jauh amat tidak sebanding dengan ancaman aktual dari objek yang ditakutinya itu. Dia bisa saja takut setengah mati akan lalat buah, tikus, tempat-tempat tinggi, orang ramai, daerah terbuka, kancing, karet, menyebrang jalan, bicara di hadapan sekelompok orang, air, atau bola lampu, untuk menyebutkan sedikit dari banyak fobia yang pernah dilaporkan. Dalam masing-masing kasus ini ketakutan tersebut irasional karena pemicu utama dari kecemasan itu terdapat dalam id daripada dalam dunia eksternal. Objek fobia merepresentasikan suatu godaan kepada pemuasan instingtual atau diasosiasikan dengan bermacam cara dengan suatu object-choice instingtual. Di balik semua ketakutan neurotik terdapat suatu keinginan primitif id akan objek yang ditakutinya itu. Orang tersebut menginginkan apa yang ia takutkan atau dia menginginkan sesuatu yang diasosiasikan dengannya, atau disimbolkan oleh, objek yang ditakutinya.
Sebagai contoh, seorang wanita muda takut setengah mati dalam menyentuh segala sesuatu yang terbuat dari karet. Dia tidak tahu kenapa dia memiliki ketakutan semacam ini; dia hanya tahu bahwa dia sudah mengidapnya sudah lama sekali. Analisis menyingkapkan fakta-fakta berikut. Ketika dia masih kanak-kanak, ayahnya membawa pulang dua buah balon, satu untuknya dan yang satunya lagi untuk adik perempuannya. In a bit of temper dia memecahkan balon kepunyaan adiknya, yang untuk kesalahannya itu dia dihukum dengan keras oleh ayahnya. Lebih lagi, dia harus menyerahkan balonnya kepada adiknya sebagai ganti dari balon yang pecah. Dengan analisis yang lebih jauh diketahui bahwa dia telah menjadi amat cemburu pada adik perempuannya ini, sebegitu cemburunya sampai dia punya keinginan agar si adik mati saja dan akan membuatnya sebagai satu-satunya orang tempat curahan seluruh cinta ayahnya. Memecahkan balon adiknya ditandakan sebagai suatu tindakan destruktif dalam melawan adiknya. Hukuman yang datang kemudian dan rasa bersalah yang diidapnya kemudian diasosiasikan dengan balon karet. Kapanpun dia berkontak dengan karet, ketakutan yang lama untuk menghancurkan adik perempuannya itu membuat si wanita merasa kerdil.
Fobia-fobia juga bisa dibikin intens oleh kecemasan moral ketika objek yang diinginkan namun ditakuti itu merupakan objek yang melanggar ideal yang dimiliki superego. Misalnya, seorang perempuan mungkin memiliki ketakutan irasional mengalami perkosaan karena dia benar-benar ingin diserang secara seksual tapi superegonya menentang keinginannya ini. Dia tidak benar-benar takut diperkosa; pada kenyataannya dia menginginkan hal itu terjadi. Yang ditakutkannya adalah nuraninya sendiri karena telah memelihara keinginan tersebut. Dengan kata lain, satu bagian dari personalitasnya sedang berperang dengan bagian yang lain. Id mengatakan, “I want it”; superego mengatakan, “How horrible”; dan ego mengatakan, “I am afraid.” Inilah penjelasan bagi banyak ketakutan yang akut.
Bentuk ketiga kecemasan neurotik terlihat dalam reaksi-reaksi panik atau hampir-panik. Reaksi-reaksi ini muncul dengan tiba-tiba dan with no apparent provocation. Orang kadang-kadang membaca berita tentang seseorang yang berlari dengan perasaan marah lalu menembaki dengan membabi buta banyak orang yang bahkan tak pernah dia kenal dan yang tak pernah melakukan kerugian secuilpun kepada dirinya. Subsequently dia tidak bisa menjelaskan kenapa dia melakukan hal semacam itu. Apa yang dia tahu adalah bahwa dia merasa kecewa berat [upset] dan begitu tegang sehingga dia harus melakukan sesuatu sebelum dia meledak. Reaksi-reaksi panik ini merupakan contoh dari perilaku pelepasan ketegangan yang bertujuan untuk melepaskan kecemasan neurotik yang amat menyakitkan dengan melakukan hal-hal yang disuruh id, tanpa menghiraukan larangan-larangan ego dan superego.
Perilaku panik adalah bentuk ekstrim dari reaksi yang seringkali diperlihatkan dalam bentuk-bentuk yang kurang violent. Ia terlihat kapanpun seseorang melakukan sesuatu yang diluar kebiasaannya. Ia bisa berupa memberondongkan kata-kata ofensif tertentu, mengambil benda yang bernilai kecil dari toko, atau melontarkan pernyataan menyakitkan mengenai seseorang. dalam kasus-kasus semacam itu orang itu disebut to be acting out his impulses. Acting out one’s impulses mengurangi kecemasan neurotik dengan mengendurkan tekanan yang dilakukan id kepada ego.
Tak perlulah dikatakan, perilaku acting-out ini akan menghasilkan peningkatan kecemasan realitas ketika tindak impulsif tersebut membangkitkan reaksi mengancam dari lingkungan, seperti yang biasanya terjadi. Seorang anak yang berulang-ulang dihukum karena acting on impulse, so that he ussually learns to control his impulses. Jika dia sewaktu kecil tidak belajar mengontrol, dan tumbuh menjadi seorang yang impulsif, masyarakat memiliki cara-cara dalam menangani orang semacam dia melalui saluran-saluran hukum. Even so, warga yang patuh hukum telah sering kita dengar melanggar hukum dibawah tekanan kecemasan neurotik. Kontrol yang mereka punya berantakan dan impuls-impuls saling berebutan minta disalurkan lewat perilaku. Meski orang yang terkontrol dengan baik biasanya menyesali tindakan-tindakan impulsif dan ledakan-ledakan emosional, there is a sense of relief that comes from exploding.
Kecemasan neurotik didasarkan pada kecemasan realitas dalam artian bahwa orang harus mengasosiasikan tuntutan instingtual dengan suatu ancaman eksternal sebelum dia belajar untuk takut terhadap insting-instingnya. Sepanjang pelepasan instingtual tidak melahirkan hukuman, dia tidak mempunyai sesuatupun untuk ditakuti dari object-cathex instingtual. Akan tetapi, ketika perilaku impulsif mendatangkan masalah bagi seseorang, seperti yang biasanya terjadi, dia menjadi tahu [learns] seberapa bahaya insting-insting tersebut sebenarnya. Tamparan dan spankings dan bentuk-bentuk hukuman lainnya memperlihatkan pada anak bahwa pemuasan instingtual impulsif membawa orang pada situasi yang tak menyamankan. Si anak mendapatkan kecemasan neurotik ketika dia dihukum karena telah bertindak impulsif.
Kecemasan neurotik bisa menjadi beban yang jauh lebih berat bagi ego daripada kecemasan objektif. Sewaktu kita tumbuh dan bertambah usia kita mengembangkan cara-cara menguasai atau menghindarkan ancaman-ancaman eksternal, dan bahkan sewaktu kanak kita selalu dapat melepaskan diri dari objek-objek atau situasi-situasi yang berbahaya. Tapi semenjak sumber kecemasan neurotik is a province of one’s own personality, adalah lebih sulit untuk menanganinya dan lumayan mustahil untuk melarikan diri darinya. Perkembangan personalitas, seperti yang akan kita lihat di bab selanjutnya, ditentukan sebagian besarnya oleh macam-macam adaptasi dan mekanisme yang dibentuk dalam ego untuk berurusan dengan kecemasan-kecemasan neurotik dan kecemasan moral. Pertarungan melawan rasa takut merupakan salah satu keterlibatan decisif dalam pertumbuhan psikologis, yang hasil akhirnya akan amat menentukan bagi karakter final dari seseorang.
Sebelum bagian ini diakhiri pembaca haruslah mencatat bahwa kecemasan neurotik bukanlah sesuatu dimiliki secara eksklusif oleh orang-orang neurotik. Orang normal pun mengalami kecemasan neurotik, tapi kecemasan itu tidak mengontrol kehidupan mereka sejauh yang terjadi dalam kehidupan orang-orang neurotik. After all, perbedaan antara orarng neurotik dengan orang normal is one degree, dan garis batas antara keduanya adalah wilayah abu-abu. 

C. MORAL ANXIETY

Kecemasan moral dialami sebagai perasaan bersalah atau malu dalam ego, dibangkitkan oleh persepsi akan adanya suatu ancaman dari nurani. Nurani sebagai agen otoritas parental yang diinternalisasi mengancam akan menghukum orang karena melakukan atau memikirkan sesuatu yang melanggar tujuan-tujuan perfeksionistik ego-ideal yang telah diterakan dalam personalitasnya oleh orang tua. Ketakutan original yang darinya kecemasan moral berasal adalah ketakutan yang objektif; ia merupakan ketakutan akan orang tua yang punitive. Seperti dalam kasus kecemasan neurotik, sumber kecemasan moral terletak dalam struktur personalitas, dan sebagaimana dengan kecemasan neurotik orang tidak dapat melepaskan diri dari perasaan bersalah dengan melarikan diri dari semua itu. Konflik ini sepenuhnya intra-psikis, yang berarti bahwa ia merupakan konflik struktural dan tidak memperlihatkan hubungan antara orang dengan dunia, kecuali dalam artian historis bahwa kecemasan moral adalah an outgrowth of an objective fear of the parents.
Kecemasan moral memiliki kaitan yang kuat dengan kecemasan neurotik semenjak musuh utama dari superego adalah object-choice dari id. Kaitan-kaitan ini berasal dari disiplin orang tua yang sebagian besarnya diarahkan untuk melawan ekspresi-ekspresi seksual dan impuls-impuls agresif. Sebagai akibatnya, nurani, yang merupakan suara otoritas parental yang diinternalisasi, terdiri dari larangan-larangan terhadap sensualitas dan ketakpatuhan.
Adalah salah satu ironi kehidupan bahwa seorang yang saleh mengalami lebih banyak rasa malu daripada yang dialami oleh orang yang tak saleh. Alasan untuk hal ini adalah bahwa semata-mata memikirkan untuk melakukan sesuatu yang buruk membuat seorang yang saleh merasa malu. Orang yang melakukan banyak kontrol diri is bound to [cenderung] give a good deal of thought to instinctual temptations since he does not find other outlets for his instinctual urges. Orang yang kurang saleh tidak memiliki superego yang kuat, dan dengan begitu dia kurang merasakan kekangan-nurani ketika dia memikirkan atau melakukan sesuatu yang ganjil bagi kode moral yang ada. Perasaan bersalah merupakan bagian dari harga yang harus dibayar oleh orang idealistik atas penyangkalan instingtual [yang dilakukannya].
Kita telah mengatakan bahwa kecemasan merupakan suatu peringatan pada ego bahwa ia sedang terancam. Dalam kecemasan objektif jika orang tidak memperdulikan peringatan tersebut sesuatu yang mencelakakan bakalan terjadi. Dia menderita sakit atau luka fisik, atau dia akan mengalami privation or deprivation. Dengan memerdulikan peringatan itu, orang akan sanggup menghindarkan ancaman dan kecelakaan tersebut. Baik dalam kecemasan moral maupun kecemasan neurotik keterancaman itu tidaklah berada di dunia eksternal juga bukan luka fisik yang menyakitkan yang ia takutkan. Lalu apa yang dia takutkan? Orang takut akan rasa takut itu sendiri. Ini sudah jelas dalam kasus perasaan bersalah yang secara langsung menyakitkan bagi orang tersebut. Perasaan bersalah bisa begitu tak tertahankan, in fact, sehingga orang yang merasa bersalah bisa melakukan sesuatu yang mengundang hukuman dari sumber eksternal demi menghapuskan rasa bersalah itu dan mendapatkan kelegaan [relief]. Orang-orang yang ketahuan melakukan kejahatan terlepas dari perasaan bersalah. Mereka dengan mudah dapat ditangkap karena mereka ingin tertangkap dan ingin dihukum. Dalam cara yang serupa, tekanan kecemasan neurotik yang semakin sengit bisa membuat orang kehilangan akal dan melakukan sesuatu yang amat impulsif. Konsekuensi-konsekuensi dari perbuatan impulsif dipandang sebagai kurang menyakitkan daripada kecemasan itu sendiri. Kecemasan neurotik dan kecemasan moral tidak hanya merupakan a signal of impeding danger to the ego, ia juga ancaman itu sendiri. 

VIII. KESIMPULAN

Dalam bab ini kita telah membahas personalitas sebagai sistem energi yang kompleks. Bentuk energi yang menjalankan personalitas dan memampukannya melakukan kerja-kerjanya disebut energi psikis. Darimanakah energi ini berasal? Ia datang dari energi vital tubuh. Energi vital ditransformasi menjadi energi psikis. Bagaimana transformasi ini terjadi tidaklah diketahui.
Sumber dari energi psikis adalah id. Energi id ini digunakan untuk memuaskan insting-insting kehidupan dan kematian. Melalui mekanisme identifikasi, energi disedot dari sumbernya dan digunakan untuk mengaktivasi ego dan superego.
Energi untuk ego dan superego itu dipakai untuk dua tujuan utama. Ia bisa membantu untuk melepaskan ketegangan dengan disuntikkan dalam cathex-cathex, atau ia menghindarkan pelepasan ketegangan tersebut dengan disuntikkan dalam anti-cathex. Anti-cathex diciptakan utamanya demi tujuan-tujuan mereduksi kecemasan dan menjauhkan rasa sakit. Apa yang seseorang pikirkan dan apa yang dia lakukan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan relatif dari daya-daya pendorong dan penentang ini.
In the final analysis, dinamika personalitas terdiri dari pertukaran-pertukaran energi psikis diantara tiga sistem personalitas.


REFERENSI

Energy, Instinct, and Cathexis

Freud, Sigmund. (1915) “Instincts and Their Vicissitudes.” Dalam Collected Papers, Vol. IV, hal. 60-83. London: The Hogarth Press, 1964.
Freud, Sigmund. (1920) Beyond the Pleasure Principle. London: The Hogarth Press, 1948.
Freud, Sigmund. (1923) The Ego and the Id, Bab. IV. London: The Hogarth Press, 1947.
Freud, Sigmund. (1924) “The Economic Problem in Masochism.” Dalam Collected Papers, Vol. II, hal. 255-68. London: The Hogarth Press, 1933.
Freud, Sigmund. (1933) New Introductory Lectures on Psycho-analysis, Bab IV. New York: W.W. Norton & Company, Inc., 1933.
Freud, Sigmund. (1933) An Outline of Psychoanalysis, Bab 2. New York: W.W. Norton & Company, Inc., 1949.

Consciousnes and Unconsciousness

Freud, Sigmund. (1900) The Interpretation of Dreams, Bab 7. London : The Hogarth Press, 1953.
Freud, Sigmund, (1912) “A Note on the Unconscious in Psychoanalysis.” Dalam Collected Papers, Vol. IV, hal. 22-29. London: The Hogarth Press, 1946.
Freud, Sigmund. (1915) “The Unconscious.” Dalam Collected Papers, Vol. IV, hal. 98-136. London: The Hogarth Press, 1946.
Freud, Sigmund. (1938) An Outline of Psychoanalysis, Bab 4. New York: W.W. Norton & Company, Inc., 1949.

Anxiety

Freud, Sigmund. (1926) Inhibitions, Symtoms, and Anxiety. London: thp, 1948.
Freud, Sigmund. (1933) New Introductory Lectures on Psychoanalysis. Bab 4. New York: W.W. Norton & Company, Inc., 1933.