Senin, 16 Januari 2012

Indahnya Keadilan

Mengharapkan wajah keadilan berseri di bumi adalah harapan setiap insan. Dari banyaknya keadilan, ada satu yang terkadangkala kita melupakannya yaitu keadilan relasi antara perempuan dan laki laki atas hak hak kemanusiaannya. Harapan ini tersurat dalam pertemuan para pejuang penegak keadilan perempuan dan laki laki yang difasilitasi oleh Unifem, refleksi dari jawaban atas pertanyaan, apa yang akan dilakukan bila kelak menjadi seorang pemimpin dan juga dari hasil diskursus yang dilakukan.

 
Sesaat saya termenung, apakah mungkin keadilan relasi yang berlainan jenis kelamin ini terwujud?. Lalu, saya memperhatikan satu persatu peserta yang berhadir pada acara tersebut sambil mememikirkan bagaimana caranya keadilan ini bisa menjadi nyata. Ketika jam istirahat tiba, saya mencoba mencari seseorang yang bisa saya ajak untuk bertanya dan mendiskusikan perihal ini. Dalam pencarian ini, terlihat oleh saya seorang perempuan yang sepertinya bukan bagian dari peserta. Ada yang aneh dari sosok perempuan ini, dia kelihatan gagah, tatapan matanya begitu tajam dan juga pakaiannya terlihat berbeda dengan perempuan perempuan yang ada di sekitar tempat acara. Timbul tanda tanya di hati, siapakah gerangan perempuan yang terlihat perkasa ini?. Selagi mencoba menerka siapakah dirinya, tiba tiba dia menghampiri saya, sekalian memberi salam, serta merta saya menjawab salamnya, wa’alaikum salam warahmatullahiwabarakatuh.

Karena sapaan ini, saya mencoba untuk memberanikan diri untuk berta’aruf dengannya. Bolehkah saya mengetahui, apakah anda salah seorang peserta atau yang akan menjadi narasumber di pertemuan ini?. Bukan, saya bukan kedua duanya, saya hadir disini untuk melihat para pejuang yang ingin menciptakan suasana yang sama pada zaman saya, jawabnya. Di dalam hati, kembali saya dibuat penasaran oleh jawabannya, “pada zaman saya”, apa maksudnya?. Jadi siapa sebenarnya anda?. Dia tidak memberikan jawaban atas pertanyaan saya. Malah dia berbicara tentang kondisi dan situasi hubungan antar perempuan dan laki laki di zaman dia dan sebelumnya. Katanya, Aceh di masa lalu sejak dari Kerajaan Islam Perlak, Kerajaan samudra/Pase, sampai pada kerajaan Aceh Darussalam, Islam menjadi dasar negara. Sumber hukum: qur an, hadis, ijmak dan qiyas. Kedudukan perempuan dalam kerajaan Aceh Darussalam sesuai dengan ketentuan Al Qur ‘an dan Sunnah.

Dia menyatakan, Islam memuliakan perempuan sebagai manusia yang diberi tugas dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya. Seperti yang ditegaskan dalam Firman Allah: 1. Sesungguhnya kami ciptakan kamu dari pria dan wanita. Kami jadikan kamu berbangsa bangsa dan berkafilah kafilah agar saling kenal satu sama lain. Sesungguhnya orang yg paling terhormat diantara kamu disisi Allah, yaitu orang yang paling tinggi nilai taqwanya (Q.S. Al Hujurat: 130). 2. Orang orang mukmin yang mengerjakan amal salih baik pria maupun wanita; mereka akan masuk surga, dan sedikitpun mereka tidak dianiaya (Q.S.An Nisa : 124).

Kemudian, tahukah kamu bagaimana kedudukan perempuan di kerajaan aceh darussalam, tanyanya kepada saya. Tidak terlalu paham, jawab saya. Lalu dia menerangkan kembali, berdasarkan dalil-laki ayat al Qur an dan hadis serta pendapat ulama, maka kerajaan Islam Perlak, Kerajaan samudra/Pase, sampai pada kerajaan Aceh Darussalam, memberikan hak sama antara perempuan dan laki-laki. Dalam kitab “Safinatul Hukkam” ditegaskan bahwa perempuan boleh menjadi raja atau sulthan, asal memenuhi kecakapan dan ilmu pengetahuan. Saya akan menginformasikan beberapa pemimpin di Aceh yang berjenis kelamin perempuan, diantaranya adalah Putri Lindung Bulan anak bungsu Raja Muda Sedia yang memerintah Kerajaan Islam Beunua/Teuming 753 – 800 H. Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, menjadi raja terakhir dari Kerajaan Islam Samudra/Pase, 801 sd 831H. Laksamana Malahayati, Panglima Armana Inongbale, dibangun oleh Sultan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukammil, 997 – 1011 H, katanya. Nah, setelah yang diatas, baru masuk ke zaman saya.

Diantara bingung dan berpikir, saya mulai menduga duga tentang siapa sebenarnya perempuan ini. Lalu dia melanjutkan ceritanya, saya hidup di era 1050 sd 1086 H. Pada masa ini, kerajaan berupaya untuk meningkatkan kedudukan perempuan agar memperoleh keadilan dengan laki laki. Contohnya, kerajaan memerintahkan agar semua pusat pendidikan dibuka untuk perempuan dan laki-laki tanpa membedakan. Perempuan diberi kesempatan seluas-luasnya sama seperti laki-laki untuk bekerja pada segala lembaga negara dan badan badan pemerintahan, termasuk dalam  ketentaraan. Dan bila dilihat di badan Majelis Mahkamah Rakyat (anggotanya diangkat diantara cerdik pandai dalam tiap tiap mukim) dari 73 anggota 22 diantaranya perempuan, badan pekerjanya 9 orang, 2 diantaranya perempuan.

Lalu ia menambahkan lagi, upaya lainnya dari kerajaan adalah dengan membuat Undang Undang untuk melindungi perempuan, isi diantaranya adalah (1) Tiap tiap orangtua harus menyediakan sebuah rumah (menurut kemampuan) kepada anak perempuan, setelah menikah rumah menjadi milik anak. Selain rumah juga diberikan sepetak sawah, sebidang kebun dan seutas emas. (2) Suami harus membawa sepetak sawah (umong peuneuwou) untuk istrinya dan menjadi milik istri dan sekedar pakaian emas. (3) Suami harus tinggal bersama istri di rumah istri. (4) Selama mereka masih hidup rukun dan damai, segala harta  (rumah, sawah, kebun yang berasal dari kedua belah pihak) menjadi milik bersama. (5) Harta kekayaan yang didapati selama masa dalam perkawinan, menjadi milik bersama, 50% menjadi milik suami dan 50% menjadi milik istri. (6) Jika terjadi perceraian, suami harus pergi dari rumah istri dan harta pembawaannya (sawah, kebun dan perhiasan emas)  ketika mula mula menikah menjadi milik istri, sementara harta yang didapati bersama semasa perkawinan (hareuta sihareukat) dibagi dua. (7) Selama masa iddah setelah bercerai, maka nafkah hidup menjadi tanggungjwab bekas suami. Selagi dia menceritakan tentang kebijakan pemerintah saat itu, saya mulai mendapatkan gambaran siapa sebenarnya ia, bila dilihat dari tahun zamannya, ternyata dia adalah salah satu perempuan yang pernah menjadi pemimpin kerajan Aceh, Ratu Safiatuddin.

Setelah usai dia menceritakan beberapa hal berkenaan dengan hubungan perempuan dan laki laki di zamannya, dia menatap saya, seakan ingin bertanya. Ternyata betul, sang Ratu mempertanyakan kepada saya, tentang kondisi perempuan saat ini. Lalu saya dengan gamblangnya menceritakan kondisi perempuan saat ini. Tentunya gambaran kondisi yang didapatkan dari pengalaman, hasil sharing dan diskusi yang dilakukan di pertemuan yang sedang saya ikuti. Intinya saya menyampaikan kepada sang ratu, bahwa suasana relasi perempuan dan laki laki pada masa kepemimpinan sang ratu dan masa sekarang berbeda. Setelah saya menceritakan kondisi perempuan saat ini, tampak diraut wajah sang Ratu penuh dengan kesedihan.

Lalu saya katakan, maraknya kekerasan terhadap perempuan terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa. Karena salah satu pihak menganggap pihak yang lain sebagai sosok atau mangsa yang lemah. Tidak ada perdebatan pada soal realitas biologis, bahwa perempuan dan laki-laki memang berbeda. Secara alamiah sudah ada dan tidak dapat dipertukarkan. Hanya saja, masalah akan muncul, ketika realitas perbedaan biologis dijadikan dasar untuk membeda-bedakan ”peran dan tanggungjawab” antara laki-laki dan perempuan. Melalui pengkotak-kotakan inilah lahirnya ketimpangan hubungan antar jenis kelamin. Dan bermuara pada ketidakadilan bagi salah satu jenis kelamin.

Saat ini ketidakadilan dirasakan oleh perempuan. Hampir dalam semua bidang, seperti, tersingkir dari ruang pengambilan keputusan, terpinggir dari proses ekonomi, hukum, dan budaya; mengalami pelecehan dan tindak kekerasan fisik, psikis, dan seksual; termarjinalkan dari proses ekonomi; mengalami beban ganda di ranah domestik; dan mendapat pelabelan negatif. Struktur sosial masih menempatkan perempuan sebagai objek, pelengkap, dan warga kelas dua. Akibatnya, dominasi laki-laki dalam segala ruang menjadi sesuatu yang tak terbantahkan, ini yang saya sangat khawatirkan, kata saya kepada sang Ratu. Seandainya saja (belum habis pernyataan saya), ratu langsung memotong, jangan gunakan kata kata seandainya, itu dapat melemahkan perjuangan dan kenyakinan.

Lalu Ratu bertanya, apakah yang kalian (OMS) akan lakukan untuk bisa mewujudkan keadilan relasi perempuan dan laki laki?. Saya menyampaikan beberapa hal berkenaan dengan itu, tentunya dari pengalaman dan beberapa proses  yang pernah saya lalui, diantaranya saya menyatakan, saat ini di Aceh ada banyak peluang untuk bisa meningkatkan keadilan relasi perempuan dengan laki laki, misalnya dengan adanya Undang Undang Pemerintahan Aceh. Sehingga penting untuk melakukan advokasi anggaran yang responsif keadilan perempuan dan laki laki. Melakukan upaya advokasi kesadaran keadilan relasi perempuan dan laki dalam perspektif Syariah/kearifan lokal. Melakukan upaya advokasi peningkatan kualitas pelayanan publik yang responsive keadilan bagi perempuan dan laki laki. Termasuk mendorong peningkatan kapasitas pengarusutamaan keadilan relasi perempuan dan laki bagi stakeholder kunci di pemerintahan. Juga melakukan upaya advokasi terhadap kebijakan/aturan yang mengarusutamakan keadilan bagi perempuan dan laki laki.

Tentunya juga, saya sampaikan kepada sang Ratu, langkah yang strategis selanjutnya adalah mendorong perempuan yang ada di jajaran pemerintahan untuk menduduki posisi/jabatan strategis dalam pengambilan keputusan. Dan tak kalah pentingnya, mendorong partisipasi perempuan hingga signifikan dalam ranah politik. Terakhir, membangun jaringan dengan multistakeholder, misalnya ulama, media, dayah, tokoh masyarakat, unsur pemerintahan, OMS dan lain lain, dalam rangka memperjuangkan keadilan bagi perempuan dan laki laki dengan mentransformasikan nilai nilai tersebut kepada publik termasuk dengan mensosialisasikan bagaimana kekerasan terhadap perempuan dapat dihapuskan. Dengan harapan setiap orang mengetahui, mengerti, memahami tentang keadilan ini, dan mempraktekkan sekaligus mempromosikannya. Lalu kepada sang Ratu saya sampaikan juga, mungkin masih banyak lagi tindakan strategis yang akan dilakukan oleh para penegak keadilan bagi perempuan dan laki laki yang saya tidak ketahui.

Sekilas saya melihat rona sedih di wajah sang Ratu sirna berganti dengan senyuman dan kemudian berganti dengan karakter wajah yang ekspresif dan berwibawa, sekalian mengucapkan kata kata: “wahai para pejuang keadilan, yakinlah dan teruskan perjuangan ini, karena Islam bersamanya!”. Jiwa saya bergelora, kata dan getar suaranya memberikan energi spritualitas yang luar biasa. Lalu beliau pergi hingga hilang dari tatapan mata, tanpa sempat saya mengucapkan kata kata perpisahan dengan sang Ratu. Karena terpana atas pernyataan sang Ratu yang begitu memotivasi sekaligus menjadi tantangan bagi saya, untuk bisa terus berbuat demi terwujud indahnya keadilan.